Sunday, April 12, 2015



Seminggu yang lalu, saya mengikuti acara DV SOS 2015. Acara yang bertemakan "Bring the Light for the Blind" dan "Let's donate vision !" ini mengajak masyarakat, terutama para mahasiswa untuk bersama-sama melakukan kegiatan pengetikan ulang buku untuk saudara-saudara kita yang tunanetra. Orang-orang tunanetra tidak bisa melihat. Untuk membaca buku, mereka harus membaca buku yang sudah di convert ke huruf Braille. Namun, untuk mengconvert sebuah buku menjadi huruf Braille, buku tersebut harus diketik ulang, baru kemudian menggunakan aplikasi agar bisa diconvert.


Awalnya, saya mengira acara ini hanya untuk mahasiswa penganut agama Buddha saja, melihat yang mensosialisasikan acara ini merupakan panitia KMBD, dan juga melihat lokasi acara di Tzu Chi PIK. Saya sendiri menganut agama Kristen. Namun karena saya selalu tertarik untuk mengikuti kegiatan-kegiatan kemanusiaan, saya mencari tahu informasi mengenai acara ini. Setelah mengetahui bahwa semua orang bisa ikut, sayapun langsung mendaftar sebagai volunteer pengetikan ulang buku.


Sesampainya di Tzu Chi, saya lumayan terkejut melihat jumlah volunteer yang mengikuti acara ini. Ada sekitar 900 orang volunteer yang memenuhi ruangan aula Tzu Chi PIK. Saya mengira mahasiswa pada umumnya tidak peduli dengan kegiatan kemanusiaan. Tetapi setelah melihat jumlah volunteer yang begitu banyak, dan mayoritas mahasiswa, saya jadi tahu bahwa masih banyak kaum muda Indonesia yang peduli terhadap kegiatan-kegiatan kemanusiaan.



Banyak sekali volunteer yang mengikuti acara ini


Acara diawali dengan kata sambutan dari banyak pihak, lalu dilanjutkan dengan penampilan tarian dan nyanyian, dan yang membuat saya semakin terkejut, para teman-teman tunanetra juga ikut tampil dalam acara tersebut. Meskipun mereka tunanetra, mereka tidak menutup diri untuk mengembangkan potensi yang lain. Mereka bisa bermail keyboard, biola, bahkan bernyanyi. Kemampuan mereka tidak kalah dengan orang-orang normal.

Dari acara ini, saya belajar, bahwa meskipun hal yang kita lakukan sangatlah simple, hanya mengetik ulang buku, namun hasil dari apa yang kita lakukan dapat menjadi sangat berarti bagi orang lain. Dengan hal simple tersebut, teman-teman tunanetra bisa memiliki lebih banyak macam buku lagi untuk dibaca di perpustakaan mereka, dapat lebih membuka wawasan akan dunia luar, dan dapat "melihat" melalui buku-buku tersebut.



Buku-buku yang saya ketik

Saya merasa senang, ketika saya mengetahui, ternyata masih banyak orang yang peduli pada teman-teman tunanetra. Masih ada komunitas-komunitas yang memperhatikan teman-teman kita tersebut, yang akhirnya mewujudkan acara pengetikan ulang buku ini. Saya sendiri sebelumnya belum pernah mengikuti acara kemanusiaan yang berhubungan dengan para tunanetra. Acara ini membuka pikiran kita semua, baik volunteer, dan para tunanetra, bahwa kami masih peduli, dan mereka masih ada yang mempedulikan. Kami tidak menganggap rendah para tunanetra karena kita berbeda, tapi kami justru membantu teman-teman tunanetra dengan mengetik ulang buku agar kalian bisa membaca lebih banyak lagi. Jangan membatasi diri kalian sendiri, jangan pernah berpikir bahwa potensi kalian dapat dibatasi oleh kekurangan penglihatan. Teruslah kembangkan potensi kalian dengan membaca buku-buku yang kami ketik ulang :)
Untuk para aktivis sosial, saya berterimakasih kepada kalian, karena berkat kalian, saya menjadi tahu mengenai proses mengconvert buku biasa ke Braille. Memang sebenarnya prosesnya tidaklah rumit, dan dapat dilakukan sendiri. Namun yang penting bukanlah prosesnya, tetapi niatnya, kesediaan dari masyarakat untuk ikut berperan dalam kegiatan kemanusiaan seperti pengetikan ulang buku ini. Terima kasih, karena kalian telah menjadi jembatan antara saya serta teman-teman volunteer yang lain dan teman-teman tunanetra untuk bisa saling menginspirasi dan saling membantu.




Sunday, March 22, 2015

Seminggu yang lalu, saya mengikuti acara lomba lari yang diselenggarakan oleh TFI, Run for Leprosy. Lomba lari ini merupakan ajang penggalangan dana untuk orang-orang yang terkena penyakit kusta atau leprosy. Jadi setiap peserta yang daftar acara ini, sudah sekaligus menyumbang untuk penggalangan dana. Awalnya saya tidak tertarik untuk mengikuti acara ini. Tetapi, setelah melihat maksud baik dari acara ini, saya dan teman-teman akhirnya mendaftarkan diri untuk mengikuti acara lomba lari ini. Berhubung saya bukan pelari profesional, saya hanya lari santai saja. Tidak terlalu fokus pada lombanya. Lombanya sendiri dibagi menjadi 2 kategori, yaitu 5K dan 10K. Saya mendaftar yang 5K saja, takut nggak kuat sampe finish :p

Berhubung track larinya lumayan panjang dan lokasinya ada di perumahan, lomba lari diadakan bertepatan dengan Car Free Day Alam Sutera, yang biasanya dilaksanakan pagi hari. Para peserta jadi harus sudah sampai di Main Campus jam 5 pagi. Waktu saya sampai di Main Campus Binus Alam Sutera, meskipun langit masih gelap, tapi sudah banyak orang yang berkumpul. Banyak yang mengikuti pemanasan pagi bersama dan juga banyak stand.

Yang menarik dari lomba lari ini adalah, setiap peserta lomba harus memakai atribut polkadot. Memang tidak terlalu banyak yang memakai atribut polkadot. Mungkin karena mereka sama seperti saya, tidak mengikuti lombanya, hanya ingin lari santai saja. Saya pun cuma memakai ikat rambut polkadot. Yang paling banyak kelihatan polkadotnya, ya baju-baju pesertanya saja.


Lomba diawali oleh peserta 10K terlebih dahulu. Para peserta 5K baru mulai berlari 15 menit setelah peserta 10K. Selama 15 menit, para peserta 5K terlihat sangat bersemangat untuk berlari. Ada yang berlari di tempat, foto-foto bersama teman-temannya, bahkan nyanyi-nyanyi sambil menunggu.



Karena saya tidak fokus pada lombanya dan hanya berlari santai, saya mencapai garis finish setelah 1 jam berlari. Cape juga hahaha. Sesampainya di garis finish, semua peserta mendapatkan medali Run for Leprosy.


Saya tidak memiliki pengetahuan yang luas mengenai penyakit kusta. Saya bahkan sempat mengira bahwa penyakit kusta itu sudah tidak ada lagi pada jaman sekarang. Saya mengira bahwa penyakit kusta adalah penyakitnya orang-orang jaman dulu. Tapi ternyata, kusta masih ada sampai sekarang, dan masih banyak orang-orang yang terjangkit penyakit ini. Karena wujud fisik dari orang yang terkena kusta, mereka dijauhi oleh orang-orang lain karena takut tertular atau karena jijik. Hal ini membuat para penderita leprosy tidak hanya sakit secara fisik, tapi juga secara mental. Menurut wikipedia, Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk kasus kusta baru.

Waktu saya tahu ada acara Run for Leprosy, saya browsing soal leprosy. Saya jadi tahu, "oh ternyata ini toh leprosy". Dan saya juga tahu bahwa acara ini merupakan penggalangan dana. Makanya saya akhirnya mau ikut acara ini, dengan bertujuan untuk membantu orang-orang yang terkena penyakit kusta. 

Masyarakat pada umumnya mengenal penyakit kusta sebagai penyakit yang menjijikan. Bahkan sampai ada yang berpikir bahwa penyakit kusta adalah kutukan. Cara pikir seperti ini harus dihilangkan dari masyarakat. Memang saya sendiri belum pernah melihat secara langsung, bagaimana kondisi orang yang terkena kusta. Namun semenjijikan apapun itu, penyakit kusta bukanlah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Meskipun penyakit ini menular, bukan berarti orang yang terkena kusta harus dikucilkan dari masyarakat. Kita bisa mengadakan penyuluhan kepada masyarakat-masyarakat sekitar, menjelaskan apa itu penyakit kusta, fakta-fakta yang sebenarnya dibalik penyakit kusta, seperti penyebabnya, gejalanya, dll. Dan yang paling penting, tidak mengucilkan orang-orang yang terkena kusta. Atau kita juga bisa membuat gerakan melalui social media. Jaman sekarang, hampir semua orang menggunakan social media seperti facebook, twitter, dll. Kita bisa membuat gerakan menggunakan hashtag, untuk menyebarkan kepada orang-orang lain, sekaligus memberikan penyuluhan juga, tetapi melalui social media.

Terima kasih TFI atas acara Run for Leprosy ini. Saya mendapatkan banyak hal dari acara ini. Dari segi kesehatan, ilmu, dan juga tentunya senang karena bisa berlari bersama dengan teman-teman :)